Breaking News

Prabowo, Anggaran Bocor,KPK sebut potensi kerugian Rp200 triliun pada 2019

Prabowo, Anggaran Bocor,KPK sebut potensi kerugian Rp200 triliun pada 2019

Berbagi berita ini ke teman
Prabowo Subianto, Jumat, 8 Februari 2019.

Jakarta, SAMO News  -  Pernyataan capres nomor urut 02 Prabowo Subianto soal anggaran negara yang bocor 25% memantik perdebatan sengit antara Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandiaga Uno dan Tim Kampanye Nasional (TKN) Joko Widodo-Ma'ruf Amin.
Apa pasalnya? Substansi yang diucapkan Prabowo ialah tentang anggaran bocor 25% yang didasari hitung-hitungan
 tax ratio atau perbandingan antara penerimaan negara dari sektor perpajakan dengan Produk Domestik Bruto (PDB).

Bukan kali ini saja, November 2018, Prabowo juga mengkritik pemerintahan Jokowi, dalam hal ini Menteri Keuangan Sri Mulyani, dengan menyebut tax ratio di Indonesia terlampau rendah.

Tax ratio yang stagnan pada kisaran 10% hingga 12%, dianggap membuat Indonesia kehilangan pendapatan negara setara US$ 60 miliar karena pemerintah salah dalam mengelola perekonomian. "Misalnya Zambia, [tax ratio] 16% saat ini. Kita perlu pergi ke sana dan belajar kepada pemerintah di sana, bagaimana mereka bisa melakukan manajemen yang baik seperti mereka," kata Prabowo saat itu.

Serangan ini langsung direspons Sri Mulyani. Ketika berbicara di acara Indonesia Forum Economic di Hotel Shangri-La, Jakarta, Rabu (21/11/2018), Menkeu menegaskan tax ratiotidak bisa dibandingkan dengan negara-negara Afrika. "Ada yang bilang kalau tax ratio kita itu rendah. Makanya kita perbaiki, tanpa menimbulkan kekhawatiran bagi perekonomian," katanya.
Terkait dengan polemik tax ratio ini, Kementerian Keuangan lagi-lagi buka. Kali ini Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kemenkeu Nufransa Wira Saktidalam catatannya di Facebook mengunggah artikel berjudul Tax Ratio Bukan Alat Ukur Kebocoran Negara. Tulisan itu diunggah pada Sabtu, 9 Februari 2019, dengan mendapat 200 likes dan 13 komentar hingga sore pukul 17.00 WIB, dan kemungkinan terus bertambah.
"Pernyataan adanya bukti kebocoran anggaran negara dengan menunjuk pada penurunan tax ratio adalah keliru. Tax ratio bukan alat ukur untuk menghitung kebocoran anggaran," jelas Nufransa.

Tax ratio adalah rasio atau perbandingan antara penerimaan negara dari sektor perpajakan dengan PDB. Rasio ini dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti kebijakan perpajakan termasuk tarif pajak, dan efektivitas pemungutan pajak. 

Selain itu, faktor lain yakni berbagai insentif dan pengecualian pajak yang diberikan kepada pelaku ekonomi dan masyarakat, dan kemungkinan terjadinya pidana pajak seperti penghindaran dan penggelapan pajak (tax evasions and avoidances).

"Rasio pajak juga menggambarkan mengenai tingkat kepatuhan pajak yang dipengaruhi oleh pendidikan dan pemahaman pajak dari masyarakat serta budaya kepatuhan pajak termasuk sistem penegakan hukum."

Angka tax ratio dapat naik atau turun seiring dengan kegiatan ekonomi yang diukur dengan PDB. Dalam kondisi ekonomi lesu dan mengalami tekanan, seperti penurunan harga komoditas atau resesi ekonomi global, pemerintah suatu negara dapat memberikan stimulus ekonomi (counter cyclical) dengan menurunkan tarif pajak atau memberikan insentif pengecualian pajak (tax holiday, tax allowance, atau pajak ditanggung pemerintah).

Dengan demikian, katanya, ekonomi dapat pulih dan bergairah kembali pertumbuhannya. Dalam situasi tersebut tax rasio justru dibuat menurun. 
Demikian juga dalam kondisi ekonomi mengalami pemanasan (overheating) atau cenderung menggelembung tidak sehat (bubble).

Maka pajak, kata dia, dapat ditingkatkan dan diefektifkan untuk mengerem dan memperlambat perekonomian. 
Jadi naik turunnya tax ratio adalah mencerminkan berbagai hal baik sebagai alat kebijakan fiskal maupun masalah struktural atau fundamental suatu perekonomian dan negara.

"Menyatakan bahwa tax rasio menurun sebagai bentuk kebocoran anggaran jelas keliru, terlalu menyederhanakan masalah dan dapat menyesatkan masyarakat."

Sebagai perbandingan, dia mengungkapkan di 
berbagai negara bahwa tax ratio mengalami perubahan setiap periode, misalnya Amerika Serikat yang tax ratio pada tahun 2000 sebesar 28,2 (ekonomi relatif menguat sebelum krisis keuangan) dan tahun 2017 turun menjadi 27,1 (sebagai upaya stimulus mengembalikan pertumbuhan ekonominya).
Pada tahun 2016, 26 negara mengalami kenaikan tax ratio bila dibanding tahun 2015, sementara itu 10 negara OECD lain mengalami penurunan.

Menurut dia, i
stilah kebocoran uang negara juga dapat diartikan secara luas dan multi dimensi. Kebocoran uang negara bisa disebabkan oleh kejahatan korupsi di semua cabang pemerintahan baik Eksekutif (kementerian/lembaga dan pemerintah daerah), Legislatif dan Yudikatif.

"Jenis kebocoran ini bila masyarakat mengetahui harus dilaporkan kepada aparat penegak hukum termasuk KPK, karena negara Indonesia adalah negara hukum," kata alumnus Niigata University tahun 2009 ini.

Adapun 
kebocoran anggaran lain adalah inefisiensi maupun kelemahan perencanaan. Ini bentuk penggunaan anggaran yang tidak optimal atau bahkan sia-sia. "Kelemahan jenis ini merupakan persoalan kapasitas dan kualitas birokrasi yang fundamental. Obatnya adalah reformasi birokrasi, membangun budaya transparansi dan akuntabilitas, dan membangun kompetensi birokrasi," kata mantan Kepala Seksi Perancangan Sistem dan Prosedur Perpajakan ini.

Sebagai informasi, pada 2014, tax ratio Indonesia berada pada level 13,7%. Namun, tax ratio kemudian menurun setahun berselang menjadi 11,6%. Kemudian turun lagi menjadi 10,8% pada 2016 dan makin menciut sampai 10,7% pada 2017. Pada 2018 pemerintah ketika itu menargetkan bisa meningkatkan tax ratio hingga 11,6% dan tahun 2019 di level 12,1%.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengisyaratkan akan makin banyak kasus korupsi yang dibongkar KPK pada 2019.

Wakil ketua KPK, Saut Situmorang, mengatakan hal ini didasarkan pada perkiraan masih banyak korupsi yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), sementara nilai APBN pada 2019 lebih dari Rp2.165 triliun.

Saut mengatakan kalau proporsi yang dikorupsi 10%, berarti nilai kerugian negara sekitar Rp200 triliun dalam satu tahun.

"Bagaimana KPK harus jaga tempat-tempat di mana kerugian negara bisa muncul ... karena nilai APBN-nya makin besar, common sense-nya adalah kami akan lebih banyak melakukan penindakan," kata Saut dalam wawancara dengan BBC News Indonesia.

"Kami targetkan (tahun 2018) bisa mengungkap 100 kasus, tapi kami membongkar lebih dari 100. Ke depan (2019) kami punya target 200 kasus, biasanya kami bisa melampaui target."

"Apakah proses penindakan itu melalui operasi tangkap tangan (OTT) atau pengembangan kasus, itu semua tergantung dengan probabilitas apakah kami akan mendapatkan bukti-bukti awal," jelas Saut.

Ia mengatakan OTT lebih banyak ditentukan oleh kelengkapan informasi.

KPK menerima sekitar 7.000 surat per tahun dari masyarakat yang melaporkan dugaan praktik korupsi.

Dari jumlah tersebut, ada yang berasal dari orang-orang terdekat, yang menurut KPK biasanya memiliki bobot informasi yang lebih valid dan lebih kuat.
Saut mengatakan kelengkapan informasi sangat penting dalam menentukan penindakan suatu kasus.
Irwandi YusufHak atas fotoANTARA
Image captionIrwandi Yusuf terjaring operasi tangkap tangan KPK saat menjabat sebagai gubernur Aceh.
"Kami geregetan dengan beberapa kasus korupsi di daerah, tapi karena informasi dan bukti yang kami terima belum lengkap, kami tak bisa melakukan penindakan," kata Saut.
Ia mengatakan memang dalam OTT ada "unsur kejutan dan lebih menggetar", tapi ini bukan pertimbangan utama KPK.
"Kami tak pernah beripikir itu (mengutamakan OTT). (Pertimbangan kami) hanya kelengkapan informasi," kata Saut.

OTT terbanyak dalam sejarah

Sepanjang 2018 KPK melakukan setidaknya 30 OTT. Yang disasar mulai dari pejabat kementerian, anggota DPR, hingga kepala daerah.
Mereka yang terjaring OTT antara lain adalah beberapa pejabat di lingkungan Kemenpora, Kementerian PUPR, anggota DPR Eni Saragih yang ditangkap saat berada di rumah Idrus Marham yang ketika itu menjabat sebagai menteri sosial, dan Gubernur Aceh Irwandi Yusuf.
Eni SaragihHak atas fotoANTARA
Image captionAnggota DPR Eni Saragih ditangkap KPK di rumah Idrus Marham, yang ketika itu menjabat sebagai menteri sosial.
OTT juga menyasar sejumlah kepada daerah tingkat dua, di antaranya Tasdi (bupati Purbalingga, Jawa Tengah), Sunjaya Purwadi Sastra (bupati Cirebon, Jawa Barat), Irvan Rivano Muchtar (bupati Cianjur, Jawa Barat), Muh Samanhudi Anwir (wali kota Blitar, Jawa Timur, dan Syahri Mulyo (bupati Tulungagung, Jawa Timur).
KPK menyebut OTT pada 2018 adalah yang paling banyak dilakukan sejak pendirian KPK.
Peneliti Indonesian Corruption Watch (ICW), Lalola Esther, mengatakan pihaknya mengapresiasi langkah KPK dalam melakukan penindakan kasus-kasus korupsi.
Tapi ia juga meminta KPK untuk secara paralel melakukan pencegahan dan monitoring (pemantauan).
"Pada 2017 dan 2018, KPK banyak mengungkap kasus yang melibatkan kepala daerah. Ini menandakan (KPK) ada fokus, tapi di sisi lain, kami mengharapkan KPK melaksanakan sisi monitoring," kata Lalola.
"Ini bisa dilakukan dengan membangun kerja sama dengan Kementerian Dalam Negeri, bagaimana membuat mekanisme yang lebih akuntabel, transparan, dan partisipatif, untuk mencegah korupsi yang dilakukan oleh kepala daerah. Atau beranjak ke reformasi pendanaan partai politik," katanya.
"Sudah saatnya KPK menyasar ke hal-hal yang sifatnya lebih mendasar. Agar tak terkesan KPK seperti pemadam kebakaran, ketika ada korupsi, baru ditangani secara hukum ... KPK bisa mengambil inisiatif yang lebih besar dalam membangun sistem untuk mencegah korupsi di lembaga-lembaga negara," kata Lalola.
"Ini harus menjadi fokus kerja KPK ke depan," katanya.

OTT 'tak diperlukan lagi'

Anggota Komisi III DPR, yang antara lain membidangi penanganan korupsi, Akbar Faizal, mengatakan kalau OTT dimaksudkan untuk memberikan efek kejut, yang dilakukan KPK lebih dari cukup.
Saut SitumorangHak atas fotoANTARA
Image captionWakil Ketua KPK Saut Situmorang mengatakan kasus korupsi pada 2019 kemungkinan akan makin banyak.
"Untuk memberi efek kejut, sudah lebih dari cukup. Lebih dari cukup," kata Akbar.
Ia juga mempertanyakan mengapa dalam beberapa kasus, ketika tidak ditemukan barang bukti berupa uang, KPK masih menyebutnya sebagai OTT.
"Mengapa KPK dengan mudah memakai istilah OTT, mengapa tidak memakai istilah lain, misalnya pengembangan kasus. Tapi memang masyarakat suka dengan istilah OTT. Setiap kali ada OTT, ada sensasi yang muncul di situ," kata Akbar.
Ia mengatakan sangat terpukul setiap kali ada OTT yang melibatkan anggota DPR, sampai ia mengusulkan agar fungsi anggaran (bujeter) yang dimiliki DPR dihapus saja kalau fungsi ini menjadi celah bagi anggota DPR melalukan korupsi.
Ia mengusulkan agar KPK juga fokus ke pencegahan.
"KPK mengatakan kepada kami, mereka sudah melakukan pencegahan. Menjadi masalah kalau dikatakan sudah melakukan pencegahan secara optimal, tapi nyatanya masih banyak korupsi," kata Akbar.
Wakil ketua KPK Saut Situmorang pihaknya sudah melakukan fungsi-fungsi pencegahan, antara lain dengan menyediakan portal khusus di situs resmi KPK, yang bisa dimanfaatkan oleh kementerian dan pemerintah daerah dalam mencegah kemungkinan terjadinya korupsi.
Ia juga mengatakan, dalam beberapa kasus OTT kepala daerah, KPK sudah melakukan fungsi pencegahan.
"Kami bilang jangan begini, jangan begitu, mereka bilang, 'Ya Pak, ya Pak', begitu kami pulang ke Jakarta, mereka melakukan korupsi," kata Saut.


Tidak ada komentar